ENTREPRENEUR HARAPAN HIDUP INDONESIA

Akhir – akhir ini kata entrepreneur begitu seringkali didengar oleh kita,begitu banyak elemen-elemen di negeri ini berkoar-koar mengenai entrepreneur.

“Kita harus memiliki jiwa Entrepreneur”

“Bangsa yang sukses harus memiliki manusia bersikap Entrepreneur lebih dari 2%”

“Bangsa yang sukses adalah bangsa yang menopang hidupnya dengan kemandirian”

Sungguh luar biasa suatu hal yang bernama entrepreneur ini, tetapi apa dan bagaimana sampai bisa menjadi sebegitu pentingnya entrepreneur ini berdampak pada sebuah individu sampai Negara. Sehingga jika tingkat kehidupan suatu Negara diukur dengan kayanya mereka, maka salah satu parameter yang menentukan adalah bisa dilihat dari seberapa besar rakyatnya yang bersikap seorang entrepreneur. Singapura dengan secuil daerahnya bisa menjadi macan Asia, meskipun mereka tidak memiliki resources SDA yang memadai. Malaysia yang dahulu kala belajar kepada kita, sekarang menjadi salah satu macan Asia Tenggara meninggalkan kita tanpa tedeng eling-eling, dan Thailand mungkin akan segera menyusul.

Dalam hal kekuasaan, setiap waktu setiap zaman, pasti ada trendnya, pasti ada masanya dimana jika suatu trend tersebut dikuasai maka kekuasaan akan mudah didapat. Dan jika kita menerawang dalam 1000 tahun kebelakang, kursi kekuasaan silih berganti seiring trend yang ada. Jika kita melihat di tahun 1000an kekuasaan berada di tangan kaum rohaniawan, karena kaum rohaniawan ini secara kebetulan juga adalah mereka yang dapat membaca dan menulis.,artinya bahwa membaca dan menulis merupakan sebuah trend pada saat itu dan kaum rohaniawan menguasainya. Beranjak ke kisaran tahun 1450an seiring ditemukannya mesin cetak yang memungkinkan pengetahuan disebar lebih banyak lagi melalui media kertas, maka kekuasaan beralih dari mereka yang hanya bisa membaca dan menulis kepada mereka yang bisa ‘menyetir.’ media dengan baik, muncullah para politisi, dengan politiknya mereka menguasai lini lini media yang dapat membuat masyarakat pada saat itu bisa berfikir dan untuk menguatkan basis kekuasaannya maka politisi ini membuat yang namanya birokrasi. Seiring berjalannya waktu dominasi para birokrasi ini sedikit demi sedikit terkikis menyusul dengan ditemukannya microchip, dimana kemungkinan memicu penyebaran informasi tidak lagi dalam satu Negara saja, namun bisa tersebar kepada kelompok yang lebih besar, terlihat pada saat itu kekuasaan dari politik berubah mainstream kepada kekuasaan berdasar ekonomi, terbukti dengan banyak hal yang terjadi selama decade 80-90an ini, salah satunya adalah bagaimana Soeharto yang digulingkan karena factor ekonomi di tahun 1998. Dan menatap abad 21 ini kekuasaan sepertinya masih dikuasai oleh para pemegang ekonomi yang esensinya adalah pemegang tongkat kewirausahaan, dan sebagai bukti saat ini Bill Gates dipilih sebagai orang berkuasa di inggris).

Melihat ini semua pantaslah bagaimana sekarang kita sebagai insan Indonesia segera menyadari akan arti pentingnya kewirausahaan demi masa depan kekuasaan  baik yang lebih baik, bukan hanya berkusa dalam negeri saja melainkan bagaimana kita bisa sejajar dengan Negara lain, dan tidak diremehkan. Lalu sebenarnya bagaimana kondisi kewirausahaan yang ada di Indonesia saat ini?

Jika kita mempelajari sejarah, maka yang namanya wirausaha di Indonesia sejak zaman dahulu itu tidak terlalu popular, karena memang kultur yang ada tidak mendukung akan hal itu, dahulu Indonesia adalah beberapa negara kerajaan, dan dibagi menjadi 2 kerajaan yang berfungsi komplementer. Yaitu di Jawa dengan Negara Agrarisnya dan di luar jawa yaitu kesultanan Aceh dan Sriwijaya dengan negara maritimnya. Meskipun perdagangan itu terjadi antara pihak jawa dan kerajaan-kerajaan non jawa tetapi sebenarnya perdagangan yang terjadi saat itu tidak terlalu menggembirakan, karena system yang digunakan adalah sebuah system yang bersifat top down, seperti memerintah antara kerajaan kepada rakyatnya, sehingga perguliran modal dan keuangan kurang dapat terealisasi karena trust dari rakyat kepada kerajaan sangat kurang, itu diakibatkan oleh kediktatoran tiap-tiap raja yang berkuasa yang dapat sewaktu-waktu mengambil alih tanah yang digunakan untuk perkebunan, rempah-rempah dan lain sebagainya.

Pada masa berikutnya di sekitar tahun 1770an sejak Portugis terusir sampai ke Timor, giliran asing lainnya masuk ke kerajaan-kerajaan di Indonesia, yaitu para antek-antek Belanda yang mencoba menguasai rempah-rempah dengan cara-cara kolonialisme yang tidak sportif, dengan cara menempatkan kasta-kasta golongan, dan celakanya pribumi dimasukkan kedalam golongan ke 3 dimana mereka hanya bisa berdiri di tatanan pekerja saja. Hingga akhirnya selama 3,5 abad kita menjadi ambteenarr tulen, kita menjadi kacung di negeri sendiri.

Dari hal diatas maka pantaslah kita belum bisa melahirkan entrepreneur-entrepreneur yang handal luar biasa, toh dari sejarahnya saja kita bukan kaum pedagang, kita bukan kaum innovator dan creator, kita hanya pekerja dan pekerja bertugas hanya untuk bekerja saja.Tetapi, bukan itu tujuannya essay ini dibuat. Tidak hanya menyalahkan, beralasan dan tidak mau disalahkan akan keadaan, tetapi bagaimana kita bisa bangkit ditengah keterpurukan krisis multidimensi yang ada di negeri tercinta saat ini.

Di ITB yang katanya institut terbaik bangsa, fenomena entrepreneur belum terlihat secara menyeluruh, jika kita berkaca ke saudara kita di Bogor, IPB kita bisa melihat bahwa ternyata para mahasiswa IPB sangat bersemangat sekali dalam hal berwirausaha, sampai sampai dikatakan bahwa IPB adalah kampusnya para entrepreneur. Tentunya sebagai insan-insan terbaik bangsa kita jangan mau kalah oleh universitas yang lain untuk mengabdi terhadap negeri ini, dan salah satunya adalah bagaimana kita bisa membungkus esensi entrepreneur ini di kemahasiswaan dengan tindakan nyata berharga demi tercipta masyarakat berivisi entrepreneur.

Jika kita menilik pembangunan nasional konvensional, maka kita bisa melihat bahwa pembangunan bisa terbentuk jika ada sumber daya alam, tenaga kerja, modal dan kemampuan memanfaatkan teknologi yang mumpuni, dan sebenarnya Indonesia pernah menikmati itu, ketika 20-30 tahun lalu mampu menguasai pasar sepatu, garmen ,tekstil, perkayuan, dan pertambangan di kawasan Asia, sehingga pantaslah pada zaman itu Indonesia di sebut sebagai macan Asia. Tentu saja dengan SDA yang berlimpah saat itu dan didukung dengan murahnya tenaga kerja menjadikan produk Indonesia bisa bersaing dengan Negara lain. Tetapi, saat ini zaman sudah terlalu banyak berubah, era keemasan itu sudah hilang, karena mekanisme pasar untuk permintaan barang sudah tidak bertumpu lagi pada system satu dominasi Negara saja. Dengan berkembangnya internet saat ini dunia sudah tidak lagi bulat, dunia sudah menjadi datar, jadi apa yang dikatakan friedman memang benar adanya.

Globalisasi saat ini sudah masuk ke era gobalisasi versi 3 dimana pada akhir 2000an, dunia sudah mulai mengecil dan mendatarkan lapangan permainan seperti bermain sepakbola yang luas dan musuh dapat terlihat secara kasat mata, contoh nyatanya adalah pembuatan pesawat Airbus 380 yang dibuat di berbagai negara diantara pembuatannya adalah sebagian sayap di Indonesia,jerman,rangka badan di spanyol dan desain di inggris  hingga akhirnya assembly utama dilaksankan di Prancis, sungguh luar biasa perkerjaan besar ini, karena kita ketahui bersama bahwa membuat pesawat membutuhkan kedetailan tingkat tinggi dan para ilmuwan ini menggunakan media yang memungkinkan ilmuwan-ilmuwan di seluruh dunia untuk bekerja bersama-sama mengerjakan suatu materi digital dari manapun, tanpa menghiraukan jarak antar mereka.

Globalisasi saat ini tidak lagi menggunakan segala-galanya dengan otot, yaitu tidak lagi seberapa besar tenaga kuda yang dimiliki, seberapa hebat tenaga angin yang dimiliki, seberapa kuat tenaga uap dan motor yang dimiliki, sekarang bukan lagi bertanya dimana posisi dan peluang negara saya dalam pergulatan global? Bagaimana saya turut mendunia dan bekerjasama dengan orang lain lewat negara saya?bukan sekali lagi bukan itu. Juga globalisasi saat ini tidak sebatas mendunianya perusahaan-perusahaan multinasional agar setiap perusahaan yang ada bergerak mendunia, sekarang bukan juga zamannya bertanya bagaimana perusahaan saya bisa memanfaatkan peluang tersebut? Bagaimana saya turut mendunia dan bekerjasama dengan orang lain melalui perusahaan saya?bukan sekali lagi bukan itu. Tetapi saat ini adalah yang layak dipertanyakan adalah seberapa mengglobalnya diri kita, seberapa besarnya kita bergerak mendunia dan kekuatan baru yang ditemukan untuk bekerjasama dan bersaing secara individual dalam kancah global tentunya dengan sense of entrepreneur yang kental dan bercita rasa.

Masalah entrepreneur di Indonesia masih sulit untuk dikembangkan, salah satu yang akan kita lihat adalah mengenai masalah institusi pendidika, jika kita melihat dari perjalanan pendidikan kita maka akan terlihat bahwa ternyata dari SD, SLTP, SMA sampai Universitas sekalipun kita diajarkan lebih banyak mengenai ilmu-ilmu ‘sekolahan’, dan sangat jarang sekali bahkan mungkin sangat sedikit sekali sekolah yang mengajarkan ilmu ‘jalanan’ di sekolah. Contohnya adalah mengenai masalah entrepreneurship, saat ini terlihat bahwa banyak masyarakat Indonesia bahkan sampai kebanyakan mahasiswa ketika ditanya setelah lulus mau kemana? Jawaban yang hampir dominan adalah bekerja, sepertinya akan menjadi hal yang tabu dan gengsi ketika kita memikirkan untuk lulus dan segera berjualan /berdagang. Dan menurut saya hal ini perlu dibenahi, terutama di kampus dimana lulusannya merupakan tenaga terdidik dan jika lulus hanya bekerja sama tanpa memiliki visi entrepreneurship akan sangat disayangkan sekali

-gumi lagi belajar nulis-

inspirasi dari the world is flat – jangan mau seumur hidup jadi orang gajian – romi sw –

Tagged:

One thought on “ENTREPRENEUR HARAPAN HIDUP INDONESIA

  1. damar sandi wicaksana January 25, 2010 at 12:04 am Reply

    sangat menarik sekali essay nya. saya juga se almamater sama anda di ITB.
    sekarang bagaimana caranya kita yang alumni ini berkontribusi ke alamamater kita dalam bidang entrepreneurship, kan?

    salam,

    damar

Leave a comment